Sebelumnya,
sejak 13 Mei 2004, dia dirawat intensif di RS Polri Kramat Jati, Jakarta akibat
mengalami stroke, penyumbatan saluran pembuluh jantung dan pendarahan bagian
lambung. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka, Kompleks Pesona Kahyangan, Jl
Margonda Raya Blok DH-I Pancoran Mas, Depok.
Kemudian
dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Giritama, Desa Tonjo, Bojong Gede,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu siang 14 Juli 2004. Menurut Aditya Soetanto,
putera keduanya, "Ayah meminta dimakamkan di TPu bukan di Taman Makam pahlawan."
Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar dan pimpinan Polri lainnya turut menghadiri
acara pemakaman.
Di
tengah terjadinya krisis kepercayaan kepada Polri dan birokrasi, ia tampil
sebagai seorang yang pantas dipercaya. Sampai-sampai ada guyonan di masyarakat
bahwa hanya ada dua polisi
yang tidak bisa disuap, yaitu Hoegeng
dan polisi
tidur.
Ia
memang seorang pejabat (polisi)
yang senantiasa hidup jujur dan bersahaja. Ia pantas diteladani. Ia simbol
kejujuran dan keteladanan bukan hanya bagi kepolisian dan seluruh jajaran birokrasi,
tetapi juga bagi segenap lapisan masyarakat.
Semasa
menjabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), dia pernah
membongkar kasus penyelundupan mobil mewah. Dia pula orang pertama mencetuskan
dan menganjurkan memakai helm bagi pengendara sepeda motor, serta menganjurkan
kaki mengangkang bagi pembonceng sepeda motor. Ketika itu, dia banyak mendapat
kritik. Walau kemudian, setelah ia pensiun, anjurannya berbuah dimana
pengendara sepeda motor menjadi sadar betapa pentingnya memakai helm.
Dia
seorang yang jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi
(kapolri). Namun ironisnya, akibat kejujuran dan keteguhannya melaksanakan
tugas, dia malah diberhentikan oleh Presiden
Soeharto dari jabatan Kapolri sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya tiga
tahun.
Bermula
dari rencananya untuk menangkap seorang penyelundup besar, yang buktinya di
Mabes Polri sudah cukup untuk ditahan. Namun karena si penyelundup itu
disebut-sebut dekat dengan Cendana, maka ia ingin lebih dahulu melaporkan
penangkapan tersebut kepada Presiden
Soeharto. Lalu, ketika sampai di Cendana, ia kaget karena si penyeludup itu
tengah berbincang- bincang dengan Soeharto.
Sejak saat itu, ia sangat sulit mempercayai Presiden
Soeharto.
Dia
merasa, hal itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kapolri. Walaupun
alasan yang dikemukakan oleh Soeharto
adalah untuk regenerasi. Alasan yang dibuat-buat. Sebab ketika dia menanyakan
siapa penggantinya, Soeharto
menyebut Mohammad Hassan, yang ternyata berusia lebih tua darinya.
Dia
seorang polisi yang jujur dan bersih dari korupsi. Terbukti, memasuki masa
pensiun, ia tidak punya simpanan apa pun. Untunglah para kerabatnya
menghadiahinya rumah dan mobil, tanpa diminta. Saat memasuki pensiun itu, ia
pun ditawari menjadi duta besar di Belgia, namun ditolak karena merasa tidak
cocok, dan lebih suka tinggal di negeri sendiri.
Lalu,
ia pun menghabiskan hari-harinya dengan melukis dan bermain musik. Dia memang
menyukai musik irama Lautan Teduh sejak muda. Maka setelah pensiun dia bersama
istri dan rekan- rekannya mendirikan grup musik The Hawaiian Senior, 1975.
Mereka sering tampil di layar TVRI dalam acara Gema Irama Lautan Teduh. Acara
itu kemudian dilarang pemerintah sebab dianggap bukan musik Indonesia.
Namun
banyak orang beranggapan alasan sesungguhnya pelarangan itu adalah karena sejak
Juni 1978, Hoegeng
bergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang didirikan atas
inisiatif AH Nasution dan Proklamator Mohammad
Hatta sebagai penasihat. LKB itu bertujuan melakukan pengawasan dan koreksi
terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan secara
konstitusional.
Ia pun
terpaksa meninggalkan hobi menyanyi itu. Kemudian sejak Mei 1980, ia bergabung
dalam kelompok lima puluh warga negara RI, antara lain Mohammad Natsir, AH
Nasution, Syafruddin Prawiranegara, H Ali
Sadikin, Burhanuddin Harahap, SK Trimurti, Manai Sophian, Ny D Wallandouw, yang
menandatangani "Pernyataan Keprihatinan" terhadap cara
penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan Soeharto, yang kemudian
populer disebut " Petisi
50".
Mantan Menteri
Iuran Negara (1966-1967), itu tak hanya ikut menandatangani, tetapi terlibat
aktif dalam Kelompok Kerja Petisi
50, yaitu suatu lembaga kajian tentang masalah kehidupan bangsa dan negara yang
didirikan Yayasan LKB. Dia rajin menghadiri pertemuan mingguan yang berlangsung
di kediaman Ali
Sadikin, di Jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat.
Orang
yang sangat disiplin soal waktu ini lulus HIS di Pekalongan 1934, MULO di
Pekalongan 1937, dan AMS (setingkat SMA) Yogyakarta
1940. Dia sempat kuliah di RHS (Recht Hoge School - Sekolah Tinggi Hukum) di
Batavia (Jakarta) 1942, namun tidak sempat selesai karena Jepang mnyerbu Hindia
Belanda dan memaksanya pulang ke Pekalongan.
Di
kota kelahirannya itu ia mengecap pendidikan polisi Leeterling Hoofdagent Van
Politie (Pendidikan Ajun Inspektur Polisi) tahun1943. Kemudian mengikuti
pendidikan Koto Keitsatsu Gakko (Sekolah Tinggi Polisi) di Sukabumi (1944),
Provost Marshall General School, AS (1950), PTIK (1952) dan Pendidikan Brimob,
Porong (1959).
Dia
memulai karier sebagai agen polisi. Kemudian ia menjabat Kapolsek Jomblang,
Semarang (1945), Kepala DPKN, Surabaya (1952-1955), dan Kepala Reskrim Sumatera
Utara, Medan (1955-1959).
Lalu
sempat menjabat Kepala Jawatan Imigrasi (1960-1965). Kemudian, diangkat Presiden
Soekarno menjabat Menteri
Iuran Negara (1966-1967) dalam kabinet yang disebut Kabinet Seratus Menteri.
Kemudian diangkat sebagai Deputi Operasi Menteri Muda Panglima Angkatan
Kepolisian (Menpangak) tahun1967-1968. Dalam buku " Hoegeng:
Polisi Idaman dan Kenyataan", karya Abrar Yusra dan Ramadhan KH, terbitan
Pustaka Sinar Harapan 1993, disebutkan, pengangkatan menteri itu adalah atas
usulan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Pada 1
Mei 1968, pangkatnya naik sebagai Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi atau
bintang tiga, dan dua minggu berikutnya (15 Mei 1968) dilantik oleh Presiden
Soekarno menjadi Panglima Angkatan Kepolisian RI (jabatan Kapolri saat ini)
dengan Inspektur Upacara Jenderal Soeharto.Dia menjabat Kapolri tahun 1968-1971.
Ada
kisah menarik ketika Presiden
Soekarno mengkaryakannya menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (Direktur
Jenderal Imigrasi). Sehari sebelum pelantikan, ia meminta isterinya, Merry
(Marie Roselina), untuk menutup toko kembang isterinya itu di Jalan Cikini.
Alasannya, karena ia akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi.
"Apa
hubungan dengan toko kembang?" tanya isterinya.
"Nanti
semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko
kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,"
jelas Hoegeng. Isterinya pun memahami dan menutup toko kembangnya.
Saat
dikaryakan dari kepolisian ke Imigrasi itu, ia pun menolak diberi mobil dinas
baru karena mobil jip dinas kepolisian yang dipakainya yang juga milik negara
dirasa sudah cukup baginya.
Begitu
juga ketika menjabat Menteri Iuran Negara. Ia diminta pindah dari rumah pribadi
di Jalan Prof Moh Yamin ke rumah dinas yang lebih besar. Permintaan pindah
rumah itu ditolak dengan alasan rumah yang ditempatinya sudah cukup
representatif sehingga negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya.
Menurutnya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang untuk
negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan fasilitas
yang bukan-bukan.
Dia
telah menerima banyak tanda jasa, antara lain, Bintang (BT) Gerilya, BT Dharma,
BT Bhayangkara, BT Kartika Eka Paksi Tingkat I, BT Jasasena, Swa Buawa,
Panglima Setya Kota, Sapta Marga, Prasetya Pancawarsa, Satya Dasawarasa, Yana
Utama, Penegak dan Ksatria Tamtama. Ia juga dianugerahi LBH Award, saat Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu memperingati HUT 32 tahun.
Perihal
asal-usul namanya, Hoegeng. Semasa kecil, ia biasa dipanggil 'Bugel' karena
badannya tambun. Kemudian menjadi 'Bugeng' dan akhirnya menjadi Hoegeng sampai
akhir hayatnya. Ayahnya, Sukarjo Karjohatmojo, seorang hoofd Jaksa, yang
memeiliki rasa sosial dan kemanusiaan yang tinggi. Sang Ayah sengaja mendirikan
rumah untuk orang-orang miskin dan telantar. Hoegeng kecil sering diajak
ayahnya ke rumah penampungan orang terlantar itu. Saat itu, Sang Ayah
membisikkan, ''Kelak, bila kau jadi orang berpangkat dan berkuasa, ingatlah:
kekuasaan itu laksana pedang bermata dua.''
Pria
yang menikahi Marie Roselina, dikaruniai tiga anak yakni Reni Soeryanti, Aditya
Soetanto dan Sri Pamujining Rahayu, ini setelah pensiun, selain melukis, ia
tercatat sebagai anggota ORARI. Ia juga seorang tokoh yang dalam keadaan sulit
berada di depan untuk menegakkan demokrasi dan kejujuran. Saat banyak tokoh
masih manggut-manggut kepada kekuasaan otoriter, ia maju ke depan menyuarakan
demokrasi dan kebenaran. Sampai akhir hayatnya, ia tetap teguh pada prinsip dan
menjadi teladan bagi semua anak bangsa, khususnya bagi Kepolisian Republik
Indonesia.
Baca juga artikelnya di : http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/1334-simbol-keteladanan-polri
0 comments:
Post a Comment